Islam di Indonesia kok Begini ?

Bagikan ini ke temanmu :
Share

Indonesia kita kaya warna. Ada Jawa, Sunda, Minang, Batak, Bugis, Dayak, hingga Papua. Keturunan Arab dan Tiong Hoa pun ada. Agamanya Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha dan Kong Hu Cu. Mungkin banyak juga yang selain itu. Makanannya gudeg, rendang, hingga ayam betutu.

Takdir telah mempertemukan kita hidup bersama di negara kepulauan terbesar di dunia (lebih dari 17.000 pulau) dengan keanekaragaman hayati tertinggi kedua di dunia (setelah Brazil) serta termasuk ke dalam 16 besar ekonomi dunia (dari 211 negara versi PBB/Perserikatan Bangsa-Bangsa berdasar nominal GDP/Gross Domestic Product). Negeri ini juga melahirkan orang-orang super. Sebut saja BJ Habibie, penemu teori crack progression yang berguna bagi dunia penerbangan. Atau Khoirul Anwar, penemu teknologi 4G yang berguna bagi dunia telekomunikasi. Kurang hebat apa lagi?. Indonesia kita, luar biasa.

Tapi, mengapa sebagian kita masih malu menjadi orang Indonesia?. Andai dulu Tuhan menyuruh kita untuk memilih, di negeri mana kita ingin dilahirkan, mungkin kita akan memilih Denmark. Negeri yang paling bahagia di dunia versi World Happiness Report 2016 yang dikeluarkan oleh PBB.

World Happiness Report merupakan pemeringkatan tingkat kebahagiaan 156 negara di dunia berdasarkan pada 6 variabel, yaitu : persepsi korupsi, penghasilan (GDP), harapan hidup, kebebasan memilih, saling tolong menolong dan kedermawanan. Ah, sudahlah. Tentu kita tak ingin menjadi juara lari, kalau harus lari dari kenyataan.

Kita lahir di Indonesia. Negeri yang sebenarnya hanya sedikit berbeda dengan Denmark. Cukup dengan menyelipkan kata “tidak” saja. Begini. Denmark bebas korupsi, Indonesia tidak bebas korupsi. Luar biasa kan negeri ini, pengadaan Al Qur’an pun dikorupsi?.

Orang Denmark harapan hidupnya tinggi, Indonesia harapan hidupnya tidak tinggi. Jangankan hidup sehat sampai aki-nini, sebagian balita kita justru kekurangan gizi.

Denmark bebas memilih, Indonesia tidak bebas memilih dengan nyaman. Setidaknya, meski bebas memilih, pilihan kita akan menjadi bahan olokan. Pendukung Prabowo, disebut panasbung alias pasukan nasi bungkus. Pendukung Jokowi disebut panastak alias pasukan nasi kotak. Pembaca piyungan online, dipanggil sapi. Penggemar Seword, dipanggil kura-kura. Oh, nyinyirnya.

Denmark saling tolong menolong, Indonesia tidak saling tolong menolong. Senang melihat orang lain susah. Susah melihat orang lain senang. Itulah cara tolong menolong bangsa kita.

Hasilnya, Indonesia hanya mampu menempati peringkat ke 79, di bawah Israel (11), Singapura (22), Thailand (33), Suriname (40), Malaysia (47), dan Somalia (76).

Ya. Kita malu bukan karena negara kita kecil. Bukan. Kita malu bukan karena negara kita miskin dan bodoh. Tapi, kita malu karena Indonesia tidak seperti Denmark. Tak perlu data pendukung lain untuk menguatkan hipotesa di atas, karena saya dan Anda telah menyaksikan fenomena itu dengan mata kepala sendiri, di kehidupan kita sehari-hari. Semua amoral itu. Akhlak yang buruk itu. Terngiang dengan keras nukilan puisi Taufik Ismail di telinga saya:

Langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak

Hukum tak tegak, doyong berderak-derak

Berjalan aku di Roxas Boulevard, Geylang Road, Lebuh Tun Razak,

Berjalan aku di Sixth Avenue, Maydan Tahrir dan Ginza

Berjalan aku di Dam, Champs Élysées dan Mesopotamia

Di sela khalayak aku berlindung di belakang hitam kacamata

Dan kubenamkan topi baret di kepala

Malu aku jadi orang Indonesia

Tunggu dulu. Bagaimana mungkin langit akhlak bisa rubuh ?. Bukankah negeri ini religious?. Indonesia merupakan Negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Tidakkah Islam itu agama yang rahmatan lil alamin (membawa manfaat bagi alam semesta)?. Hening sejenak. Pertanyaan itu spontan menohok pikiran saya.

Islam mengajarkan kedisiplinan melalui perintah sholat di awal waktu yang telah ditentukan. Saya tahu itu, tapi kita merasa nyaman dengan jam karet. Betul?. Saya mengerti. Islam mengajarkan kebersihan dan keindahan, tapi mushola kita toiletnya bau kencing bukan?. Islam mengajari kita untuk bersedekah kepada sesama, tapi banyak diantara kita yang pelit bin koret alias medit.

Lalu, pertanyaannya, Islam seperti apa yang sedang kita amalkan?. Apakah Islam KTP, Islam Nusantara, Islam wahabi, Islam moderat, atau Islam liberal?. Ah, entahlah. Terserah, Islam jenis apa yang akan Anda sematkan. Satu hal yang pasti, banyak orang yang mengaku Islam, tapi telah hilang ke-Islam-annya. Islam datang untuk memperbaiki akhlak manusia. Manusia itu kita. Akhlak kita yang harus diperbaiki.

Jangan-jangan, negeri ini terpuruk gara-gara penduduknya mayoritas beragama Islam?. Bukankah sebelum Islam datang, negeri ini pernah berjaya?. Tuduhan ini seringkali terlontar brutal dari mulut sebagian orang.

Benar, bahwa Nusantara (cikal bakal Indonesia) pernah berjaya pada abad ke 7 di bawah Kedatuan Sriwijaya (berpusat di Sumatera Selatan) yang mayoritas penduduknya beragama Budha. Betul, bahwa pada abad ke 8, Kerajaan Medang (berpusat di Jawa Tengah) menunjukkan tingkat peradaban yang tinggi dengan karya master piece-nya berupa Candi Borobudur, sebuah candi Budha terbesar di dunia yang telah ditetapkan sebagai warisan dunia oleh UNESCO pada tahun 1991. Tidak salah, bahwa Kerajaan Majapahit (berpusat di Jawa Timur). yang penduduknya menganut agama Hindu dan Budha juga pernah berjaya pada abad ke 14.

Tapi ingat, kejayaan peradaban suatu bangsa akan terus dipergilirkan, tanpa melihat agama apa yang dianut penduduknya. Itulah yang terjadi pada Aad, Tsamud, Yunani, Mesir, Babylonia, Romawi, Persia, Arab, Amerika, China hingga Jepang. Kejayaan datang, hanya jika syarat-syaratnya terpenuhi, Demikian pula, kejayaan hilang, hanya jika penduduknya telah melampaui batas. Ijinkan saya – orang yang bukan ahli agama ini – untuk mengutip QS Ali Imron ayat 140, “Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu Kami pergilirkan diantara manusia (agar mereka mendapat pelajaran)”.

Jangan heran jika kemudian Prof. Dr. Scheherazade S Rehman dan Prof Dr Hossein Askari, dua peneliti muslim dari George Washington University, yang memprakarsai penelitian tentang How Islamic is Islamic Countries (seberapa Islami Negara-negara Islam) menempatkan Netherland sebagai negara paling Islami tahun 2015, sementara negara-negara Islam maupun negara berpenduduk muslim lain (termasuk Indonesia) berada di urutan bawah.

Negara Islam yang menempati peringkat teratas adalah Qatar, itupun peringkat ke 39, sementara Indonesia hanya berada di peringkat ke 88. Ada 4 indikator, yang dikaitkan dengan ajaran Islam, yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu: ekonomi dan pengembangan manusia, hukum dan pemerintahan, hak asasi dan politik, serta hubungan internasional.

Kita boleh mengernyitkan dahi melihat fakta ini. Negara-negara Islam justru tidak Islami. Kalau begitu, apa gunanya penerapan syariat Islam ?. Buat apa ada partai politik Islam yang memperjuangkan undang-undang dan peraturan syariah ?. Toh hasilnya justru negara-negara non Islam yang menerapkan universal spiritual wisdom bisa lebih Islami.

Sebentar. Logikanya tidak seperti itu. Kalau saat ini kita belum Islami, berarti ada ajaran Islam yang belum diterapkan dengan baik. Ini yang harus diperbaiki. Saya yakin, seandainya penelitian tersebut dilaksanakan pada abad ke 8 hingga 13, hasilnya akan berbeda 180 derajat. Mengapa?. Karena pada saat itu, peradaban Islam di Timur Tengah sedang mencapai masa keemasan, sementara di belahan dunia lain, Nasrani di Eropa sedang mengalami zaman kegelapan (dark age), kemerosotan ekonomi, budaya dan keilmuan sejak keruntuhan Romawi.

Pada saat peradaban Islam mengalami kejayaan di dunia, Nusantara juga sedang mengalami kejayaan peradaban dengan corak Hindu – Budha (Sriwijaya, Medang dan Majapahit), meskipun kurang terdokumentasi dengan baik.

Pada saat kejayaan peradaban Islam di dunia mulai surut, penduduk Nusantara sudah banyak yang memeluk Islam. Di saat yang hampir bersamaan pula, Eropa bangkit dari keterpurukan. Hingga kemudian pada abad ke 16, bangsa Eropa mulai mencengkeramkan kuku imperialismenya di bumi pertiwi. Portugis, Inggris dan Belanda datang menjajah silih berganti untuk meraih Gold (kekayaan), Glory (kejayaan) dan Gospel (penyebaran agama Nasrani).

Kalau masih ada yang bertanya, Islam di Indonesia kok begini?. Jawabannya ada pada diri kita masing-masing. Mengapa kualitas kita sebagai manusia hanya seperti ini. Jika pendahulu kita telah memberikan persembahan terbaik pada masanya, apa yang sudah kita lakukan saat ini?. Kalaulah kita belum bisa berkontribusi untuk meraih kejayaan, setidaknya kita tidak menjadi orang yang menyebabkan agama dan bangsa ini menjadi bahan olok-olok. Islam agama yang rohmatan lil ‘alamin bukan untuk diucapkan, tapi untuk dibuktikan, agar semua makhluk bisa merasakan manfaatnya.

Apa komentarmu ?

Tulis di sini

Alamat email akan disembunyikan. Terimakasih.


*