Perang Cina (Geger Pecinan) di Pulau Jawa Abad 18

http://www.dreamstime.com/royalty-free-stock-photos-dragon-chinese-sculpture-white-background-image34692608
Bagikan ini ke temanmu :
Share

Pendahuluan

Perang Cina tidak hanya terjadi di Batavia pada tahun 1740 saja. Tapi perang Cina juga terjadi di beberapa kota di pulau Jawa hingga tahun 1746.

Sumber utama tulisan ini adalah buku berjudul The History of Java yang ditulis oleh Thomas Stamford Raffles, Letnan Gubernur dari Kerajaan Inggris yang memerintah Jawa tahun 1811 – 1816. Meski ada beberapa versi kisah geger pecinan/perang cina yang sedikit berbeda, saya merasa tulisan Raffles ini layak dicermati. Selain karena dia pejabat dari kerajaan Inggris (bukan pihak yang terlibat langsung) dan hidup di jaman yang tidak terlalu jauh dari peristiwa itu, pemaparannya juga komprehensif. Buku tersebut tidak hanya bercerita tentang Perang Cina di Batavia saja, tetapi juga di berbagai daerah serta kondisi sosial masyarakat yang berhubungan dengan masyarakat Cina pada masa kolonial Belanda.

Tulisan ini dibuat tidak untuk menyulut sentimen etnis. Sama sekali tidak. Saya percaya semua etnis sama di hadapan Tuhan. Kalaupun saya menggunakan kata “Cina” (bukan Tiong Hoa) atau pribumi, itu karena sumbernya-pun menggunakan kata itu. Tidak ada yang perlu diperdebatkan. Saya menulis ini semata-mata karena ketertarikan saya untuk mempelajari sejarah. Kita perlu belajar dari masa lalu, meskipun itu pahit. Dari situlah, kita bisa memperbaiki masa kini dan masa depan. History repeats itself. Sejarah yang sama bisa terulang jika fenomena yang sama terulang kembali.

Latar Belakang

Pada abad 18, kota Batavia merupakan pusat pemerintahan Hindia Belanda serta kota perdagangan yang ramai. Batavia menjadi penghubung jalur perdagangan antara Eropa, India, China dan Jepang. Pedagang berdatangan dari berbagai penjuru. Barang-barang yang diperdagangkan sangat melimpah. Kopi, lada, cengkeh, kayu manis, pala, merica, biji kapas, kacang, tembakau, kayu, rotan, kamper, kerang, sarang walet, teripang, kulit penyu, gula, garam, arak, opium, timah, tembaga, hingga emas dan permata. Nilai perdagangan eksport dari Jawa mencapai lebih dari 3 juta dollar Spanyol per tahun. Wajar jika kemudian sebagian penduduk Batavia hidup dalam kemakmuran. Hanya saja, kemakmuran itu tidak tersebar merata. Kesenjangan sosial inilah yang kemudian menyulut kecemburuan sosial hingga berujung perselisihan.

Sebelum Inggris mendarat di Jawa, sebuah laporan dari Dewan Batavia mengemukakan bahwa meskipun orang Cina rajin bekerja dan berguna bagi pemerintah Hindia Belanda, tapi mereka adalah orang-orang yang sangat berbahaya. Dimanapun orang Cina membangun perkampungan, mereka akan memonopoli dan membentuk kelompok tersendiri serta tidak memperhatikan kesejahteraan warga sekitarnya.

Perdagangan di Jawa pada masa kolonial Belanda dikuasai oleh orang Cina. Hampir semua produk petani yang dijual ke pasar (baik di pasar domestik maupun eksport ke luar negeri) melalui pedagang Cina. Penarikan pajak di pasar juga dimonopoli oleh orang Cina dan seringkali pajak yang ditarik lebih besar dari pajak resmi yang ditetapkan oleh pemerintah Hindia Belanda. Demikian pula produk import yang akan masuk ke Jawa, selalu ditebus oleh sekelompok pedagang Cina sebelum didistribusikan ke seluruh penjuru negeri.

Pemerintah Hindia Belanda memberikan kemudahan kepada orang Cina untuk mendirikan pabrik dengan memerintahkan penguasa lokal untuk menyediakan lahan beserta pekerjanya. Dengan kemudahan dari pemerintah ditambah pengetahuan bisnis, semangat dagang, kerja keras dan kerjasama yang baik, orang Cina menguasai industri manufaktur, seperti pabrik gula tebu, pabrik arak dan pabrik garam.

Tak hanya itu, orang Cina juga menguasai pertambangan. Pertambangan emas dan permata di Borneo serta tambang timah di Bangka dikuasai oleh orang Cina. Tambang emas di Borneo yang dikelola oleh 32.000 orang Cina diperkirakan menghasilkan uang sejumlah 3.744.000 dollar Spanyol atau sekitar 936.000 poundsterling. Tambang permata menghasilkan 300.000 dollar Spanyol setiap tahun, dengan asumsi rata-rata, tiap delapan orang Cina menemukan 1.600 hingga 2.400 permata.

Di masa pemerintahan Hindia Belanda, banyak orang Cina menjadi kaki tangan orang Belanda. Mereka mendapat untung dari monopoli hasil pertanian serta perjanjian-perjanjian yang dibuat oleh pemerintah Hindia Belanda. Masyarakat Cina banyak yang hidup dalam kesejahteraan dengan adat dan aturan serta komunitasnya sendiri (tidak membaur dengan penduduk lokal).

Sementara di sisi lain, kebijakan pemerintah Hindia Belanda dan penguasa lokal sangat memberatkan penduduk pribumi. Penduduk yang sudah miskin masih dikenakan kewajiban untuk membayar berbagai macam pajak dan sumbangan, seperti pajak perorangan, pajak hasil panen, pajak-pajak lain untuk membiayai kegiatan operasional pemerintahan, sumbangan keagamaan, sumbangan untuk membiayai upacara-upacara serta pemerasan yang dilakukan oleh pejabat-pejabat lokal. Akibatnya, kebanyakan penduduk hidup dalam kesulitan.

Batavia telah menjadi magnet bagi imigran Cina yang tiap tahun selalu bertambah jumlahnya. Mereka tiba di pelabuhan Batavia menggunakan kapal-kapal Jung dari negeri Cina. Sebagian dari mereka datang dalam keadaan miskin.

Di Batavia saat itu, populasi penduduk didominasi oleh dua kelompok besar, yaitu orang Cina dan budak. Kelompok lainnya adalah orang Bali, Jawa, Melayu, Eropa, Makasar, Arab dan berbagai suku lain di Nusantara. Budak banyak didatangkan dari pulau Celebes (Sulawesi) dan Bali. Seorang budak diperjualbelikan dengan harga 10 – 40 dollar (sebagai perbandingan, sepasang lembu yang biasa digunakan untuk membajak sawah harganya 6 dollar). Budak banyak dimiliki oleh orang Eropa dan Cina. Kelompok budak inilah yang paling mudah tersulut kemarahannya melihat kemakmuran orang Cina.

Perang Cina

Beberapa budak mulai berani memukuli orang Cina di tempat umum. Makin lama, kasus pemukulan makin banyak terjadi. Hingga orang-orang Cina mengajukan permohonan kepada pemerintah Hindia Belanda untuk menghentikan tindakan tersebut serta menghukum pelakunya. Tetapi, pemerintah Hindia Belanda tidak mengabulkan permohonan tersebut bahkan mengenakan denda atas mereka, dengan dalih bahwa orang Cina-lah yang mengganggu para budak.

Merasa tidak memperoleh keadilan, lebih dari 1.000 orang Cina kemudian berkumpul di dekat pabrik pengolahan gula di Gandaria. Mereka sepakat membentuk pergerakan dan mengangkat seorang pemimpin. Sadar bahwa mereka tidak mungkin melakukan perlawanan secara terbuka, orang-orang Cina ini membentuk kelompok-kelompok kecil, lalu melakukan pengrusakan dan penjarahan di malam hari sebagai bentuk balas dendam. Batavia rusuh.

Menurut Adriaan Valckenier, Gubernur Jendral Hindia Belanda saat itu, jumlah orang Cina di Batavia sudah terlalu banyak. Pada 25 Juli 1740, Valckenier mengusulkan agar sebagian dari mereka dikirim ke Ceylon (Srilanka). Tapi, usulan itu tidak ditanggapi oleh orang-orang Cina. Akibatnya, Valckenier memerintahkan Bailleu untuk menahan paksa orang-orang Cina yang miskin.

Sekitar 200 orang ditangkap dan diberangkatan dengan sebuah kapal. Tapi di tengah perjalanan, sebagian dari mereka dibunuh di atas kapal dan sebagian lagi dibuang ke laut. Sebagian kecil dari mereka yang dibuang ke laut berhasil selamat dan kembali ke Batavia. Mendengar perlakuan kejam itu, sekitar 5.000 orang Cina berkumpul di Gandaria dan mengangkat Si Pandjang sebagai pemimpin mereka untuk mengobarkan perang melawan pemerintah Hindia Belanda.

Sekitar 10.000 orang Cina (dari Tangerang dan Bekasi) merangsek ke tembok benteng kota Batavia. Tapi, mereka dengan mudah dipukul mundur oleh pasukan pemerintah Hindia Belanda hingga ke Gading Melati. Sekitar 1.700 orang Cina tewas dalam peperangan itu. Keesokan harinya, pemerintah Hindia Belanda dengan brutal membantai sekitar 9.000 orang Cina di dalam kota Batavia.

Perang Cina tidak hanya terjadi di Batavia, tapi juga di beberapa kota lainnya. Perang ini berlanjut hingga menyulut Perang Jawa yang kemudian memecah kerajaan Mataram menjadi tiga bagian (baca : Perang Jawa).

4 Komentar

Tulis di sini

Alamat email akan disembunyikan. Terimakasih.


*