
Pilpres 2019 : Memilih dengan Akal Sehat
Saya gatel kalau ada pendukung capres yang membanding-bandingkan maqom para ulama pendukung Capres. Cebong membandingkan (misal) KH. Maimoen Zubair, Gus Muwafiq, KH. Mustofa Bisri dengan Ust. Felix Siauw. Kampret membandingkan (misal) Ust. Adi Hidayat, Ust. Abdul Somad, Aa Gym dengan Ust. Jalaluddin Rahmat. Ini apa-apaan ?. Mau sok-sok-an paling layak masuk surga ?.
Saya bukan anggota NU maupun organisasi keagamaan lain. Saya hanya penonton TV9, Akhyar TV serta media lain, tentunya. Jadi, setidaknya saya punya sedikit literatur untuk “membanding-bandingkan” ulama. Setahu saya, kalau ukurannya “gelar surga”, sejauh ini belum ada ulama di Indonesia yang menyamai gelar Al Mukarom Haji Haji Haji Badrun Pemegang Kunci Surga (Sinetron Kun Anta di MNC TV… hahay).
Ada juga yang membanding-bandingkan soal bisa tidak-nya Capres menjadi Imam Sholat. Eh, banyak lho, seseorang dijadikan imam sholat bukan karena paling ‘Alim atau karena bacaan Qur’an-nya paling bagus di antara jamaah, tapi karena orang itu adalah tuan rumah. Yah. Setidaknya itulah 3 syarat untuk menjadi Imam Sholat dalam Islam. Meskipun di masyarakat kita, ada tambahan syarat yang salah kaprah, seperti : usia, jabatan, status sosial dan syarat lain yang belum jelas dalil-nya.
Itu soal isu agama. Belum lagi soal isu lain. Sebut saja isu kemampuan untuk memimpin. Ada yang membandingkan soal kemampuan memimpin rumah tangga dengan kemampuan memimpin negara. Mohon maaf kalau saya jadi agak kurang sopan bertanya, : “Presiden pertama RI itu berapa kali menikah ?. Konon, 9 kali menikah. Tapi beliau bisa memimpin negara selama 23 tahun. Ya, kan ?.
Kalau isu seperti Jokowi PKI atau Prabowo anti NKRI dan pro khilafah yang sudah diklarifikasi sebagai fitnah, ya ndak layak dipercaya lagi lah ya. Apa sekonyong-konyong Jokowi otomatis jadi PKI karena ada “anak PKI” yang mendukung beliau ?. Ndak lah. Prabowo dituduh pro Khilafah karena HTI mendukung Prabowo ?. Ini ga logis. Setahu saya, temen-temen HTI itu dari dulu banyak yang Golput. Hanya sobat misqueen literasi saja yang mengidentikkan HTI dengan PKS. Justru setelah dibubarkan, HTI hendak mendukung PBB. Eh, sekarang ketuanya PBB (Yusril) malah pendukung Jokowi tuh. Gimana coba. Apa tuduhannya jadi berubah Jokowi pro khilafah ?.
Cobalah gunakan sedikiiit saja akal sehat. Jangan khawatir otakmu bakal aus atau lecet gara-gara dipakai banyak mikir.
Jokowi – Makruf Amin
Kalau pendukung 01 sudah banyak membicarakan kesuksesan calon-nya sebagai alasan untuk memilih. Sebut saja, pembangunan infrastruktur yang masif. Inflasi rendah. Egaliter. Bersih dari KKN. Wakilnya pun seorang ulama dan ahli ekonomi syariah. Yaa… wallahu’alam juga sih, kenyataannya seperti apa. Yang jelas persepsi sebagian orang seperti itu.
Nah, pendukung 02 terkadang gelagapan kalau ditanya alasan memilih calon-nya. Cuma karena didukung ulama ?. Kembali ke awal tulisan ini. Kedua calon didukung oleh ulama. Titik.
Karena kejelekan 01 ?. Misal, kriminalisasi ulama atau memecah belah umat ?. Bisa jadi ini “cuma sedikit” miskoordinasi. Karena hutang banyak dan kebijakan pro sosialis ?. Ini debatable. Karena Jokowi inkonsisten dengan janjinya ?. Hmmm… namanya juga politisi.. he.. he… ya ga sih ?. Jokowi tidak tahu balas budi karena tidak sesuai dengan pepatah “never burn a bridge” (jadi walikota diusung PKS, jadi Gubernur diusung Prabowo, jadi Presiden menjadi lawan) ?. Hmmm… namanya juga politisi.. he.. he… ya ga sih ?.
Prabowo – Sandi
Toh 02 juga ada kelemahannya kan ?. Karir militer mentok Jendral bintang tiga. Diduga terlibat pelanggaran HAM (meski mantan orang yang diculik dan pendukung Jokowi sebagian pernah jadi timses Prabowo). Calon 2 kali gagal. Didukung FPI (kalau FPI dianggap radikal hanya karena menggerebek tempat maksiat, kurang logis sih menurut saya). Didukung PKS (… he.. he..mungkin level sebelnya orang ke PKS sama dengan level sebelnya orang ke PDIP.. pendukung PKS dan PDIP itu udah kayak Bobotoh Persib versus Jakmania Persija).
Kalau mendukung 02 cuma karena tidak suka dengan 01, rasa-rasanya kok kurang intelek ya. Mbok ya kalau mau membandingkan itu jeruk to jeruk dan unbantahable. Ayo, saya bantu menarasikan pikiranmu.
Kalau mau membandingkan dengan keberhasilan pemerintah, jelas tidak jeruk to jeruk karena 01 sudah menjabat, sementara 02 belum menjabat. Jadi akan lebih jeruk to jeruk kalau membandingkan latar belakang calon.
Dimulai dari hal yang receh. Misal, soal kegantengan… he.. he…. Lihat foto-foto mereka. Siapa yang lebih ganteng. Soal kemampuan berbahasa asing dan pergaulan dunia. Siapa yang lebih fasih bicaranya. Siapa yang lulusan luar negeri (kalau memang ini dianggap keren lho ya). Soal keberagaman (kalau memang ini dianggap penting oleh kaum minoritas). Siapa yang keluarganya berbeda suku dan agama. Lanjut ke hal yang agak berat. Soal kesuksesan sebagai pengusaha. Siapa yang aset kekayaannya lebih banyak. Soal pengabdian ke masyarakat : TNI, ketua HKTI, IPSI, yayasan pendidikan kebangsaan, koperasi swadesi hingga ketua umum partai. Soal partai pendukung yang sedikit korupsi-nya. Soal…. ah, segitu aja dulu deh.
Pikir sendiri alasanmu. Selamat mengikuti Pilpres 2019 besok ya !.
Tulis di sini