
Dahlan Iskan pernah dinobatkan sebagai orang terkaya Indonesia nomor 90 versi Globe Asia 2013. Kekayaannya ditaksir mencapai USD 445 juta atau sekitar Rp 6,2 triliun. Sebelum menjadi Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Dahlan menahkodai Jawa Pos News Network (JPNN). Jaringan bisnis yang menguasai 151 surat kabar lokal (berlabel RADAR/beRitA DAeRah), tabloid & majalah, 40 percetakan, 35 stasiun televisi local, 2 pabrik kertas serta 2 pembangkit litrik.
Baginya, profesi sebagai pengusaha lebih disukai ketimbang menjadi pejabat yang terikat dengan birokrasi. Namun begitulah Dahlan Iskan, meski mampu bepergian menggunakan mobil mercy atau helikopter, terkadang ia memilih untuk naik ojek atau kereta api.
Nama lahirnya Mohamad Dahlan. Ayahnya bernama Mohamad Iskan. Dahlan lahir sebagai anak ketiga dari empat bersaudara. Ayahnya berprofesi sebagai petani kecil dan tukang kayu serabutan. Pendapatannya tak menentu. Untuk membantu perekonomian keluarga, ibunya membatik kain mori berdasar pesanan tetangga.
Sesekali, ketiadaan uang membuat keduanya bertengkar. Semisal tentang daun pisang. Di belakang rumah, tumbuh pohon pisang. Sang ibu memetik daun pisang, lalu menjualnya ke pasar. Uang hasil penjualan daun pisang digunakan untuk membeli lauk pauk. Sang ayah tak setuju. Jika pohon pisang diambil daunnya, ia tak akan berbuah. Suatu ketika, sore hari sepulang kerja, ayah langsung menuju kebun di belakang rumah dan merusak daun pisang menggunakan tongkat. Tujuannya agar daun pisang itu tidak diambil oleh istrinya.
Rumahnya di Magetan (Jawa Timur) sangat sederhana. Berlantai tanah. Malam hari, Dahlan kecil memilih tidur di Masjid yang berlantai semen. Baju hanya satu. Dipakainya di malam hari saja. Pernah menjelang lebaran, ibu membelikan sarung bekas yang harganya murah. Terbayang putranya akan bahagia di hari raya mengenakan sarung itu. Sesampainya di rumah, sarung dicuci. Ternyata, sarung bekas itu berlubang di sana sini. Jadilah sang ibu menangis sesenggukan meratapi nasib.
Dahlan kecil pulang pergi ke Sekolah Rakyat dengan berjalan kaki. Jaraknya sekitar 2 km. Tanpa sepatu. Saat Dahlan berumur 9 tahun, ibunya sakit. Kista. Enam bulan lamanya. Dirawat di rumah sakit Madiun. Selama itu pula, ayah menemani ibu. Pemasukan terhenti karena ayah tak lagi bekerja.
Untuk menutupi biaya perawatan dan kebutuhan sehari-hari, ayah menjual asset yang ia punya. Sawah warisan yang luasnya hampir sepertiga hektar dijual. Perabotan rumah tangga dijual. Piring dijual. Meja kursi dijual. Termasuk lemari tua juga dijual. Padahal di balik pintu lemari itu, tercatat tanggal lahir Dahlan yang ditulis menggunakan kapur oleh kakaknya. Karena catatan itu hilang, Dahlan jadi tak tahu tanggal lahirnya sendiri. Ayahnya – yang tak bisa baca tulis – hanya ingat kalau Dahlan sudah bisa merangkak saat Gunung Wilis meletus. Akhirnya, Dahlan memilih 17 Agustus sebagai tanggal lahirnya. Jadilah Dahlan Iskan lahir tanggal 17 Agustus 1951.
Saking polosnya, Dahlan kecil bahkan tak tahu nama lengkap ibunya. Ia hanya tahu kalau ibunya biasa dipanggil Bu Lis. Kelak setelah duduk di sekolah menengah, ia baru tahu nama lengkap ibunya adalah Siti Khalisnah. Meski miskin, Dahlan kecil tak merasa hidup menderita.
Dahlan ingin melanjutkan sekolah ke SMP yang jaraknya cukup jauh dari rumahnya. Tapi ayahnya tak punya cukup biaya. Dahlan harus menerima nasib untuk sekolah di Madrasah Tsanawiyah & Aliyah Sabilil Muttaqien yang jaraknya lebih dekat dari rumah. Kedua kakak perempuannya juga alumni madrasah itu. Dulu, kedua kakak perempuannya harus ngenger (membantu pekerjaan rumah tangga) paman-nya yang lebih mapan secara ekonomi demi sedikit uang untuk bisa sekolah di madrasah itu. Jarak rumah ke madrasah sekitar 6 km. Tiap hari pulang pergi berjalan kaki. Masih tanpa sepatu. Sepulang sekolah, Dahlan mencari rumput, lalu menggembalakan kambing milik tetangga. Jika kambingnya beranak dua, maka satu anak kambing jadi miliknya.
Dahlan bukan siswa yang cerdas. Saat di Tsanawiyah (setingkat SMP), rata-rata nilainya kurang dari 6. Setelah duduk di kelas 2 Aliyah (setingkat SMA), Dahlan dibelikan sepatu. Ya. Lagi-lagi sepatu bekas. Ujung jempolnya sudah bolong dan bagian belakangnya sobek. Sepatu itu hanya dipakai setiap hari Senin. Biar awet.
Selepas Aliyah, Dahlan ikut merantau bersama kakak sulungnya ke Samarinda (Kalimantan Timur). Khosiyatun, kakaknya, jadi guru madrasah di sana. Kakak keduanya, Shofwati, merantau ke Jambi. Jadi guru juga. Tapi ia meninggal muda. Umur 30 tahun.
Dahlan melanjutkan kuliah di Fakultas Tarbiyah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Ampel cabang Samarinda. Ia juga aktif berorganisasi. Salah satunya di PII (Pelajar Islam Indonesia). Saking sibuknya berorganisasi, Dahlan jarang mengikuti perkuliahan di kelas. Ia drop out di tahun ketiga.
Tak lagi mahasiswa, Dahlan menjadi reporter koran mingguan Mimbar Masyarakat. Berikutnya, ia menjadi reporter majalah Tempo di Samarinda. Berkeliling daerah dengan sepeda untuk mencari berita. Meski tinggal di tempat yang relative minim potensi pemberitaan, Dahlan termasuk wartawan produktif dengan mengirimkan 2 – 3 naskah berita tiap kali penerbitan. Di Samarinda, ia mengenal Napsiah Sabri. Guru SD yang kemudian dinikahinya tahun 1975.
Tahun 1976, Dahlan pindah ke Surabaya sebagai wartawan majalah Tempo. Tulisan-tulisannya banyak diminati pembaca. Bahasanya bernas. Kariernya cepat menanjak. Dahlan ditunjuk menjadi kepala biro majalah Tempo di Jawa Timur.
Tahun 1982, PT. Grafiti Pers (penerbit majalah Tempo) membeli koran Djava Pos (kemudian berganti nama menjadi Jawa Pos) dari The Chung Shen. Koran terbitan Surabaya yang nyaris bangkrut. Oplahnya tinggal 6.800 eksemplar. Sementara koran sedaerahnya yang lain, Surabaya Post, oplahnya lebih dari 100.000 eksemplar tiap hari. Kantor redaksi Jawa Pos yang kurang bergengsi itu bersebelahan dengan kantor Bank Karman (kelak berubah nama menjadi Bank Mega setelah dibeli Chairul Tanjung) yang cukup terkenal. Dahlan dipercaya Tempo untuk memimpin Jawa Pos.
Enam bulan berlalu, Jawa Pos tak menunjukkan perubahan. Dahlan mengumpulkan semua istri karyawan. Ia meminta semua istri karyawan menjadi agen pemasaran koran agar perusahaan tidak bangkrut. Penjualan mulai naik.
Tahun 1984, Dahlan mendapat undangan dari pemerintah Amerika Serikat. Ia berkesempatan untuk mengunjungi beberapa penerbit surat kabar di Amerika, seperti : New York Times, The Washington Post, USA Today, Washington Times, Orlando, Pittsburgh, Columbus, Athens, Los Angeles Times, San Fransisco Chronicle dan Hawaii.
Sekembalinya dari sana, Dahlan membuat gebrakan. Ia mengganti mesin ketik di Jawa Pos newsroom dengan komputer. Dahlan mengganti waktu terbit koran dari sore hari (seperti kebanyakan koran pada saat itu) ke pagi hari. Ini cukup mengagetkan. Meski sempat diremehkan, beberapa surat kabar terbitan sore hari seolah-olah hanya menindaklanjuti berita yang dikabarkan Jawa Pos di pagi hari. Tak hanya itu, Dahlan mengubah tampilan koran dengan menempatkan foto berwarna di halaman depan. Jawa Pos juga terbit di hari Minggu di saat sebagian koran lain libur.
Dalam tempo lima tahun kepemimpinannya, Jawa Pos berubah dari penerbit koran yang hampir bangkrut menjadi raksasa media dengan oplah 300.000 eksemplar per hari. Kerja keras Dahlan tak sia-sia. Hingga usia 38 tahun, Dahlan bekerja 16 jam per hari. Tidur hanya 3 sampai 4 jam. Itu dijalaninya 7 hari dalam seminggu. Sebagai pemimpin perusahaan, Dahlan berhak atas sebagian saham perusahaan. Ia berbagi kepemilikan Jawa Pos dengan pemilik group Tempo, yaitu Ciputra, Eric Samola dan Goenawan Muhammad.
Sejak tahun 2002, Dahlan melakukan ekspansi usaha ke pabrik kertas dan pembangkit listrik. Karena beberapa rekanannya adalah perusahaan Tiongkok, Dahlan pergi ke Tiongkok untuk belajar bahasa Mandarin selama beberapa bulan.
Tahun 2006, Dahlan divonis menderita kanker hati. Usianya diperkirakan tak sampai setahun. Sejak itu, Jawa Pos dikendalikan oleh putra sulungnya, Azrul Ananda. Lulusan international marketing dari California State University (Amerika Serikat). Tahun 2007, Dahlan menjalani operasi tranplantasi hati di Tiongkok.
Sepulang operasi, Dahlan menghabiskan waktunya untuk mengajar jurnalistik, menulis buku serta mengelola Islamic International School di Magetan dan Kediri. Sekolah itu bekerjasama dengan madrasah Al Irsyad Al Islamiyah (Singapura) yang telah menjalin kerjasama dengan Cambridge (Inggris).
Tahun 2009, Dahlan diminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjadi Direktur Utama PLN. Tahun 2011, Dahlan ditunjuk sebagai Menteri BUMN. Tahun 2013, pendapatan Jawa Pos mencapai Rp. 686,56 miliar. Namun angka itu terus menurun dari tahun ke tahun. Perubahan perilaku masyarakat yang cenderung untuk memilih media online membuat beberapa perusahaan media cetak mengalami penurunan omzet.
“Jika semua yang kita kehendaki terus kita miliki, darimana kita akan belajar ikhlas ?. Jika semua yang kita impikan segera terwujud, darimana kita akan belajar sabar ?. Jika setiap do’a kita dikabulkan, darimana kita belajar ikhtiar ?”, nasehat Dahlan Iskan.
Tulis di sini