
Suatu ketika, Rusdi diminta berbicara di Washington University. Anaknya sedang mengambil program MBA di sana. “My airlines is the worst in the world, but you have no choice”, sesumbarnya. Ia menyebut Lion Air merupakan maskapai terburuk di dunia. Hingga 2018, tercatat 31 kali insiden kecelakaan melibatkan Lion Air. Konsumen juga mengeluhkan masalah keterlambatan dan penundaan penerbangan, buruknya pelayanan ganti rugi tiket hingga keamanan bagasi. Namun, konsumen tak punya pilihan lain.
Meskipun dibenci, tiket Lion Air laris terjual. Semboyan “We Make People Fly” membuat semua orang (termasuk orang bersandal jepit) bisa terbang. Lion mengusung konsep low cost carrier (penerbangan murah). Menurut CAPA Centre For Aviation, pada tahun 2017, Lion Air telah menguasai 50 % pasar penerbangan domestik Indonesia. Lion Air dengan 302 pesawat menjadi maskapai terbesar di Asia Tenggara. Jumlah itu hampir 100 pesawat lebih banyak jika dibanding pesaingnya, Air Asia milik Tony Fernandez asal Malaysia. Lion Air melayani 670 penerbangan setiap hari. Tujuh hari seminggu. Tahun 2018, Lion Air Group melayani 51,72 juta penumpang. Jauh di atas Garuda Indonesia yang hanya melayani 33,87 juta penumpang.
Lion Air Group mengoperasikan Lion Air, Wings Air, Batik Air, Lion Bizjet, Malindo Air (Malaysia) dan Thai Lion Air (Thailand). Lion Air mengusung penerbangan murah dengan pesawat besar seperti Boeing (Amerika) dan Airbus (Perancis). Wings Air melayani rute pendek ke bandara kecil dengan pesawat kecil semisal ATR (Italia) dan Bombardier (Kanada). Batik Air menawarkan layanan premium untuk kalangan menengah. Lion Bizjet melayani pesawat sewaan. Selain itu, Lion Air Group juga memiliki usaha jasa pengiriman barang berbiaya murah (Lion Parcel) serta Lion Hotel & Plaza. Dari bisnisnya ini, Kirana bersaudara memiliki kekayaan hingga USD 800 juta atau sekitar Rp. 11,2 triliun. Forbes 2018 menempatkannya di nomor 37 dalam daftar orang terkaya Indonesia.
Rusdi lahir di Cirebon tanggal 17 agustus 1963. Awalnya, Rusdi Kirana seorang sales mesin ketik merk Brother buatan Amerika. Pendapatannya kecil. Berkisar USD 4 – 5 per bulan. Terkadang, ia harus menunggu hingga 2 jam lamanya hanya untuk bertemu calon konsumen. Itupun calon konsumen tersebut belum tentu jadi beli mesin ketik. Bosan. Rusdi ganti haluan. Ia menjual bahan baku pembuat roti dari Jerman. Rusdi belajar membuat black forest, cookies dan croissant.
Tahun 1990, saat masih menjadi mahasiswa di Fakultas Ekonomi Universitas Pancasila, Rusdi bekerja di sebuah agen perjalanan. Setamat kuliah, bersama Kusnan (kakaknya), Ia mendirikan agen perjalanan Lion Tours. Rusdi bertugas mengurus visa, paspor hingga menjemput konsumen. Bertahun-tahun menjadi calo tiket di Terminal II Bandara Soekrno Hatta, Rusdi melihat peluang bisnis transportasi udara sangat menjanjikan. Tiket pesawat masih mahal, saat itu. Rusdi berpikir, seandainya ada maskapai yang bisa menjual tiket murah, sepertinya tiket itu akan laris terjual.
Tahun 2000, pemerintah mengeluarkan deregulasi industri penerbangan untuk merangsang investasi, meningkatkan bisnis penerbangan serta menggairahkan industri pariwisata. Ijin pendirian maskapai baru dipermudah. Rusdi menangkap baik peluang itu. Ia mengajak rekan-rekannya di Glodok (pusat perbelanjaan elektronik di Jakarta) untuk mengembangkan bisnis transportasi udara. Ia berhasil mengumpukan modal sekitar Rp. 9 miliar.
Dengan modal terbatas itu, Lion Air menyewa 2 pesawat Boeing 737-200 seharga Rp. 6,5 miliar. Rute penerbangannya Jakarta – Pontianak. Rusdi menetapkan rute penerbangan berdasar data sambungan langsung jarak jauh telpon. Dari data tersebut, Ia memperkirakan potensi pasar beserta hitungan skala ekonomis penerbangan.
Usahanya tak langsung berjalan mulus. Setelah pesawat sewaan datang, ternyata kondisinya rusak. Perlu seminggu grounded untuk perbaikan. Empat tahun berselang, pesawatnya tergelincir di Solo hingga menyebabkan 25 penumpang tewas. Rusdi sampai tak mau menonton berita TV maupun koran. Ia tak ingin mentalnya down. Begitu pula saat 5 dari 6 pilotnya mengajukan pengunduran diri karena tuntutannya tak dipenuhi. Bagi Rusdi, lebih baik perusahaan tutup daripada ia ditekan untuk menuruti kemauan mereka.
Rusdi memiliki banyak cara untuk menekan biaya operasional. Lion membeli suku cadang secara tunai agar mendapat harga yang lebih murah. Lion menggunakan aplikasi reservasi buatan sendiri. Supaya efisien, Lion menggunakan pesawat berbadan lebar yang bisa memuat lebih banyak penumpang. Promosi dengan anggaran terbatas dibuat bombastis, misal : tiket berhadiah mobil BMW, pemasangan spanduk di sepanjang jalan yang berisi informasi tiket murah (lebih murah dibanding tiket manapun). Tidak disediakannya makanan di penerbangan jarak pendek. Hingga menu nasi diganti roti.
Tahun 2010, Lion mendirikan sekolah penerbangan Angkasa Aviation Academy. Awalnya hanya untuk memenuhi kebutuhan pilot di Lion Air. Tapi, di kemudian hari, lulusannya juga disalurkan ke maskapai lain.
Langkah bidak catur Kirana bersaudara sering tak terkira. Mengejutkan banyak pihak. Tahun 2011, Rusdi menandatangani kesepakatan pembelian 230 pesawat Boeing 737 asal Amerika senilai USD 21,7 miliar. Barrack Obama (presiden Amerika saat itu) menyebut Lion Air sebagai maskapai penerbangan dengan pertumbuhan tercepat di dunia.
Tahun 2013, Rusdi kembali menandatangani kesepakatan pembelian 234 pesawat Airbus A320 asal Perancis sebesar USD 24 miliar. Ia menyatakan pembelian tersebut merupakan rekor pembelian pesawat di dunia. Presiden Francois Hollande memaparkan pembelian pesawat tersebut akan memberi peluang 5.000 pekerjaan di Airbus selama 10 tahun.
Rusdi membangun Lion City seluas 30 hektar di Tangerang. Fasilitas yang diresmikan tahun 2015 ini disediakan agar karyawan bisa tinggal di sekitar bandara. Jarak dari rumah ke bandara sekitar 10 menit perjalanan. Dilengkapi dengan sekolah, kantor, 1500 rumah, 3000 kamar dengan kolam renang untuk crew wanita. Pemikiran Rusdi sederhana, “Setelah saya memberi mereka rumah, mereka tidak pernah meminta kenaikan gaji lagi”.
Rusdi lebih suka Lion Air Group menjadi perusahaan pribadi. Bukan perusahaan publik. Dengan begitu, Ia bebas menaikkan gaji karyawan, memecat karyawan hingga memutuskan aksi korporasi dalam sekejap tanpa perlu persetujuan pemegang saham.
Sejak 2014, Rusdi terjun ke politik. Meski berdarah Tionghoa dan beragama nasrani, Ia memilih bergabung dengan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang identik dengan massa Nahdlatul Ulama (NU). Posisinya sebagai Wakil Ketua Umum. Rusdi menjelaskan alasannya terjun ke politik, “Sebagai seorang pengusaha, saya membutuhkan akses sebagai pembuat keputusan. Ini sulit didapat jika saya tidak gabung ke partai politik”. “Sekarang saya bisa bertemu presiden dan menteri serta mendengar banyak rahasia”. Rusdi tak lagi aktif di partai politik setelah diangkat menjadi anggota Dewan Pertimbangan Presiden pada tahun 2015. Tahun 2017, Rusdi didapuk menjadi Duta Besar RI di Malaysia.
Tulis di sini