
13 Maret 2019 atau sehari sebelum Hari Ulang Tahun-nya, Arifin Panigoro (biasa dipanggil AP) mendapat penghargaan dari Kementerian Keuangan RI sebagai pembayar pajak individu terbesar. Penghargaan yang sudah beberapa kali diraihnya. Di luar itu, kontribusi perusahaannya (Medco Energi International, Tbk) ke negara melalui pajak dan bagi hasil penjualan minyak & gas mencapai USD 1 miliar atau sekitar Rp. 14 triliun per tahun. Forbes (2018) menempatkannya sebagai orang terkaya Indonesia nomor 46 dengan taksiran kekayaan sebesar USD 655 juta atau sekitar Rp. 9,1 triliun.
Pada 1997, krisis ekonomi melanda Asia. Hutang Medco mencapai USD 700 juta. Pada 1999, hutang jatuh tempo yang harus dibayar sebesar USD 216 juta. AP terpaksa menjual 51 % sahamnya kepada Credit Suisse First Boston (CSFB) Swiss. Tahun 2001, CSFB menjual 34 % saham Medco ke PTT Exploration & Production (PTTEP) Thailand. Tahun 2004, CSFB & PTTEP akan menjual 38,4 % saham Medco. Terpilih Temasek (BUMN Singapura) sebagai preferred bidder. Jika itu terjadi, AP akan kehilangan kesempatan untuk kembali memegang kendali atas perusahaan yang didirikannya. Sebagai pemilik awal, AP diberi tenggat waktu 4 bulan jika ingin buy back saham tersebut senilai USD 350 juta.
Tak perlu menunggu 4 bulan, dua bulan berselang, AP menyatakan fight terhadap Temasek. AP meminjam USD 340 juta dari United Overseas Bank (UOB) Singapura untuk membeli 38,4 % saham Medco dari CSFB & PTTEP. Ia optimis Medco akan menjadi perusahaan besar. Setelah mayoritas (85,5 %) saham Medco di tangan, AP menjual 31 % saham ke public melalui London Stock Exchange. AP meraup dana USD 300 juta dari penjualan saham yang digunakannya untuk melunasi hutang ke UOB. Di sisi lain, Ia berhasil kembali memegang kendali atas Medco dengan kepemilikan saham sebesar 54,5 %. Perjuangan AP merebut Medco kembali ini dijadikan studi kasus di Harvard Business Review.
Kini, Medco menjadi perusahaan minyak & gas swasta (bukan BUMN) terbesar di Indonesia. Medco melakukan eksplorasi minyak & gas di Indonesia, Oman, Yaman, Libya, Thailand, Vietnam, Tanzania, Tunisia, Meksiko hingga Amerika Serikat. Medco juga merambah bisnis jasa pengeboran, produksi methanol, LPG, tambang emas dan tembaga serta pembangkit listrik. Pada tahun 2018, perolehan labanya mencapai USD 645 juta.
AP lahir di Bandung, 14 maret 1945. Putra sulung dari 11 bersaudara. Ayahnya, Jusuf Panigoro, pedagang di Jalan Braga (Bandung). Awalnya, Jusuf menjual kopiah. Berkat keahlian berbahasa Belanda, Ia dipercaya menjadi agen radio dan televisi merk Philips. Berikutnya, ia menjual produk tekstil Ratatex. Terakhir, usahanya beralih ke percetakan.
Usaha Jusuf sempat bangkrut saat menggeluti tekstil. Rumahnya dijual untuk menutupi hutang. Jusuf terlambat mengantisipasi perubahan yang terjadi. Saat itu, permintaan konsumen mulai beralih dari kain ke pakaian jadi. Munculnya kebijakan pemerintah Orde Lama yang melakukan sanering atau devaluasi (pemotongan nilai mata uang) semakin memperparah usahanya.
Pada 1973, AP meraih gelar insinyur teknik elektro dari Institut Teknologi Bandung. Setahun sebelumnya, AP mendirikan CV. Corona Electric. Jasa instalasi listrik dari rumah ke rumah. Seiring berjalannya waktu, usahanya berkembang menjadi jasa pemasangan pipa. Tapi, Ia hanya kebagian proyek-proyek kecil. Proyek pemipaan besar yang terkait dengan eksplorasi minyak & gas selalu dikerjakan oleh pengusaha asing. Padahal, AP juga ingin mendapatkan kesempatan untuk menikmati oil boom (masa keemasan industry minyak & gas sekitar tahun 1973 – 1982).
Eksplorasi minyak & gas bumi termasuk beresiko tinggi. Biayanya mahal. Jarang investor yang mau terjun. Kebanyakan pelaku di Indonesia adalah investor asing. Dulu, orang mencari ladang minyak menggunakan cenayang/paranormal. Setelah ilmu Geologi berkembang, eksplorasi minyak & gas dilakukan dengan cara yang lebih rasional.
Batu pasir/gamping berwarna gelap menjadi petunjuk awal adanya kandungan minyak di suatu tempat. Setelah dilakukan studi geologi dan pengukuran sifat batuan, tahap eksplorasi dilanjutkan dengan metode magnetik, gravitasi dan gelombang seismik. Satu kali eksplorasi bisa menelan biaya USD 250 juta. Sementara, untuk mendapatkan ladang minyak yang produktif, biasanya dilakukan tiga atau empat kali eksplorasi. Total biaya bisa mencapai USD 1 miliar atau sekitar Rp. 14 triliun. Itupun belum tentu berhasil. Jika gagal, maka biaya yang dikeluarkan tak akan kembali.
Terkait mahalnya biaya eksplorasi, perusahaan Total SA dari Perancis baru-baru ini mengaku memiliki supercomputer yang mampu memproses data seismik 10 kali lebih cepat. Supercomputer buatan IBM itu memiliki kinerja setara dengan 170 ribu laptop. Dengan penerapan teknologi ini, perusahaan bisa menghemat biaya eksplorasi.
Kembali ke kisah AP. Untuk mewujudkan keinginannya, AP mendirikan Meta Epsi Pribumi Drilling, Co (Medco) pada 9 Juni 1980. Jalan mulai terbuka. Untuk memberdayakan pengusaha lokal, pemerintah melibatkan Medco dalam pembangunan kilang Cilacap. Medco bekerjasama dengan perusahaan asal Amerika Serikat. Setelah proyek selesai, Medco mendapat bagi hasil berupa peralatan. Dengan modal peralatan itu, Medco mulai berani mencari proyek sendiri.
Tahun 1981, Wiharso selaku Dirjen Migas menunjuk Medco untuk melakukan pengeboran di Sumatera Selatan. Meski belum memiliki peralatan yang memadai, AP menerima tantangan itu. Ia mengirim staf-nya yang bisa berbahasa Inggris ke Amerika. Tujuannya untuk menjajaki pembelian peralatan drilling. Setelah memperoleh informasi tentang pasar peralatan di Texas, AP terbang ke Houston. Dengan bahasa Inggris tarzan, AP membeli peralatan drilling seharga USD 4 juta dengan membayar uang muka sebesar USD 300 ribu.
Sekembalinya ke Indonesia, kesehatan AP terganggu akibat jetlag. Tapi ia harus segera menyelesaikan transaksi pembelian peralatan. AP hanya diberi waktu 2 minggu untuk melunasi pembayaran atau uang mukanya hangus. AP segera menemui Gubernur Bank Indonesia saat itu, Rachmat Saleh. Ia hendak berhutang. Atas rekomendasi Piet Haryono (pimpinan Pertamina) dan Wiharso, BI bersedia membantu keuangan Medco. Dana cair. Proyek pertama Medco berhasil.
Tahun 1990, Medco membeli sumur minyak pertamanya di Tarakan (Kalimantan Timur) senilai USD 13 juta. Lima tahun kemudian, Medco membeli sumur minyak tertua Stanvac Indonesia (Exxon Mobil).
Medco tak mau bergantung hanya pada minyak & gas saja. Tahun 2016, Medco membeli Newmont (tambang emas dan tembaga di Nusa Tenggara Barat) senilai Rp. 34,5 triliun. Medco percaya bahwa permintaan emas dan tembaga masih menjanjikan. Konsumen terbesar emas dunia adalah China dan India.
Dalam pertumbuhan selanjutnya, Medco melaju menjadi perusahaan yang – pada tahun 2018 – memproduksi minyak sebesar 85 MBOEPD (Million Barrel Oil Equivalent Per Day), listrik sebesar 2704 GWH (Giga Watt Hour), tembaga sebesar 141,9 Mlbs (Million Pounds/Libra) serta emas seberat 70,9 Koz (Kilo Ounces).
Tulis di sini