Menepati Janji Kepada Orang Yang Lupa

Bagikan ini ke temanmu :
Share

Suatu hari, Abdullah bin Abil Hamsa melakukan transaksi dengan Muhammad Saw (sebelum beliau diangkat menjadi Rasulullah). Entah transaksi apa yang mereka lakukan. Sebab, ada beberapa versi dari kisah ini. Ada yang menceritakan, mereka melakukan jual beli, lalu Abdullah berjanji akan melunasi pembayarannya di sebuah tempat. Ada pula yang menceritakan, barang milik Muhammad Saw tertinggal, lalu Abdullah berjanji akan membawa barang tersebut dan menyerahkannya di suatu tempat. Meskipun demikian, benang merahnya sama : Abdullah bin Abil Hamsa berjanji menemui Muhammad Saw di sebuah tempat untuk menyelesaikan transaksi. Sayangnya, Abdullah lupa. Ia baru teringat akan janjinya, tiga hari kemudian. Datanglah ia ke tempat yang dijanjikan. Ia dapati Muhammad Saw sedang menunggunya di tempat itu.

Muhammad Saw berkata: “Hai anak muda, engkau menyebabkan aku rindu. Aku menunggumu di sini sejak tiga hari” (kisah ini diceritakan dalam kitab Asy Syifa karangan Al Qadhi Iyadh dan tercantum dalam Tafsir Ibnu Katsir halaman 342).

Ya..ya…ya…jangankan menunggu tiga hari lamanya, menunggu tiga puluh menit saja kita tak kan kuasa menahan emosi. Tapi tidak dengan Al Amin. Muhammad Saw adalah orang yang bisa dipercaya, bahkan sebelum beliau diangkat menjadi utusan Allah. Orang-orang Quraisy (suku terbesar di Mekkah) memberinya gelar Al Amin (orang yang bisa dipercaya). Gelar yang tak bisa diperoleh di perguruan tinggi manapun di dunia. Integritas dirinya tercermin dari kisah ini. Ia memegang teguh janji yang telah disepakati dengan segala resikonya. Menunggu tiga hari lamanya tanpa meleleh. Demi sebuah janji.

Demikian pula setelah diangkat menjadi utusan Allah, Rasulullah Saw adalah orang yang selalu menepati janji. Beliau pernah menunda sebentar sholat berjama’ah hanya untuk memenuhi janjinya kepada seseorang. Diceritakan oleh Anas bin Malik Ra: “Rasulullah Saw adalah seorang yang penyayang, seseorang tidak mendatanginya kecuali dijanjikannya, dan jika beliau mempunyai janji (kepada seseorang), maka beliau menepati janji tersebut. Ketika shalat akan dimulai, seorang Arab Badui mendatanginya, lalu Rasulullah Saw menarik baju Arab Badui tersebut dan berkata, ‘Sesungguhnya keperluan saya tinggal sedikit dan saya khawatir melupakannya’. Kemudian Rasulullah Saw berdiri (berbincang-bincang) bersama Arab Badui tersebut sehingga keperluannya terpenuhi, lalu menghampiri (jamaah) untuk shalat” (Shahih Adabul Mufrod – Imam Bukhari).

Kita sering mendapati orang yang mengobral janji. Entah itu calon pejabat, calon suami/istri, tetangga, bahkan kawan. Sebagian dari mereka ingkar janji. Perhatikan baik-baik, jika diantara orang yang mengingkari janji itu banyak yang bertubuh gemuk, yakinlah kita, bahwa zaman sekarang tidak sebaik zaman sebelumnya, karena Rasulullah Saw pernah bersabda: “Sebaik-baik umatku adalah mereka yang ada di zaman saat aku diutus, kemudian umat pada zaman setelahnya, kemudian umat pada zaman setelahnya. Setelah itu, akan muncullah orang-orang yang bersaksi padahal mereka tidak diminta bersaksi, mereka berjanji atas diri mereka untuk melakukan sesuatu tetapi tidak mereka kerjakan, mereka suka berkhianat dan tidak menepati janji, dan banyak diantara mereka yang kegemukan – karena terlampau banyak makan dan minum (Sunan Abu Dawud).

Al wa’du dainun (janji adalah hutang). Janji diucapkan untuk ditepati. Bukan untuk dilupakan. Bukan untuk sekedar berdalih, pemanis mulut atau menarik simpati. Jangan kita berjanji, kalau hanya membuat orang lain waiting for Godot (menunggu sesuatu yang tak pasti).

Apa komentarmu ?

Tulis di sini

Alamat email akan disembunyikan. Terimakasih.


*